Senin, 07 Desember 2009

DEMOKRASI DI INDONESIA

Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi.

Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yang tidak banyak disadari itu, membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan makmur.

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab disapa SBY menerima anugerah medali demokrasi. SBY pun memaparkan panjang lebar perjalanan demokrasi Indonesia. Menurutnya, demokrasi Indonesia merupakan jawaban terhadap skeptisme perjalanan demokrasi di negeri ini. Beliau pun mencontohkan beberapa nada skeptis yang ditujukan kepada Indonesia. Pertama, demokrasi akan membawa situasi kacau dan perpecahan. Demokrasi di Indonesia hanyalah perubahan rezim, demokrasi akan memicu ekstrimisme dan radikalisme politik di Indonesia.

Beliau pun menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia menunjukkan Islam dan moderitas dapat berjalan bersama. Dan terlepas dari goncangan hebat akibat pergantian 4 kali presiden selama periode 1998-2002, demokrasi Indonesia telah menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain itu, Indonesia juga telah berhasil menjadi sebuah negara demokrasi terbesar di dunia dan melaksanakan pemilu yang kompleks dengan sangat sukses.

Meski pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kenyataannya demokrasi di Indonesia saat ini telah berusia 10 tahun dan akan terus berkembang. Sebagian orang pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan berlangsung lama di Indonesia, karena masyarakatnya belum siap. Mereka juga pernah mengatakan bahwa negara Indonesia terlalu besar dan memiliki persoalan yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan menyerupai kekhawatiran yang dapat membuat Indonesia chaos yang dapat mengakibatkan perpecahan.

Sementara itu, mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang turut hadir menyebutkan bahwa demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil melaksanakan demokrasi. Hal ini juga membuat Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia yang telah berhasil menerapkan demokrasi. Dia juga berharap agar perkembangan ekonomi juga makin meyakinkan sehingga demokrasi bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal tersebut tentunya bisa terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi dan penumpukan kekayaan hanya pada elit tertentu.

Demokrasi, menurut Anwar Ibrahim, adalah pemberian kebebasan kepada warga negara, sedangkan kegagalan atau keberhasilan ekonomi menyangkut sistem yang diterapkan.

PENINGKATAN KINESTETIK ILMIAH, SIKAP ILMIAH, DAN PENGUASAAN MATERI

Ilmu Fisika merupakan bagian dari mata pelajaran sains yang menuntut siswa untuk berinteraksi langsung dengan sumber belajar, sehingga perlu adanya penggabungan antara pengalaman melalui serangkaian kegiatan ilmiah dan pemahaman terhadap konsep. Pada pembelajaran berbasis kerja ilmiah menuntut siswa untuk melaksanakan kegiatan di laboratorium yang bertujuan untuk membuktikan konsep-konsep fisika secara nyata sehingga memudahkan siswa untuk memahami dan mempelajari fisika. Adapun lima langkah kerja ilmiah itu terdiri dari perumusan masalah, merumuskan hipotesis, pengambilan data, analisis data dan penarikan kesimpulan.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peningkatan kinestetik ilmiah, sikap ilmiah dan penguasaan materi siswa selama pembelajaran berbasis kerja ilmiah pada materi pokok Suhu dan Pemuaian.

Hasil penelitian ini menunjukan kinestetik ilmiah siswa pada siklus I yaitu percobaan I sebesar 66,67 dan mengalami peningkatan sebesar 4,76 % pada percobaan II menjadi 71,43 dan mengalami penurunan pada percobaan III sebesar 1,43 % menjadi 70 dan mengalami penurunan kembali pada percobaan IV sebesar 6,46 % menjadi 63,54. Pada siklus II percobaan V mengalami kenaikan sebesar 4,11 % sehingga menjadi 67,65 dan pada siklus III percobaan VI mengalami kenaikan sebesar 7,47 % menjadi 75,12. Sedangkan hasil rata-rata sikap ilmiah pada siklus I sebesar 80,41, siklus II meningkat sebesar 0,83 % menjadi 81,24, dan pada siklus III mengalami peningakatan 3,05 % menjadi 84,29. Dan rata-rata penguasaan materi siswa pada siklus I sebesar 80,54, pada siklus II menurun sebesar 9,26 % sehingga menjadi 71,28 dan pada siklus III meningkat sebesar 5,62 % menjadi 76,90

Kamis, 03 Desember 2009

PERKEMBANGAN MASA REMAJA

Masa remaja dikenal dengan masa storm and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase (Monks, 1985), fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. Fase pubertas ini berkisar dari usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun (Hurlock, 1992) dan setiap individu memiliki variasi tersendiri. Masa pubertas sendiri berada tumpang tindih antara masa anak dan masa remaja, sehingga kesulitan pada masa tersebut dapat menyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan selanjutnya. Pada fase itu remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi.

Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya.

Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.

Kecerdasan Emosional

Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.

Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).

Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat.

Goleman (1995) mengungkapkan 5 (lima) wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :

Mengenali emosi diri

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.

Mengelola emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila : mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.

Memotivasi diri

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut : a) cara mengendalikan dorongan hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; c) kekuatan berfikir positif; d) optimisme; dan e) keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.

Mengenali emosi orang lain

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

Membina hubungan dengan orang lain

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan Aseseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah yang menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan.

Dengan memahami komponen-komponen emosional tersebut diatas, diharapkan para remaja dapat menyalurkan emosinya secara proporsional dan efektif. Dengan demikian energi yang dimiliki akan tersalurkan secara baik sehingga mengurangi hal-hal negatif yang dapat merugikan masa depan remaja dan bangsa ini

Selasa, 01 Desember 2009

EKSISTENSI BUDAYA PESISIRAN PADA ERA GLOBALISASI

1. Pendahuluan
Budaya Jawa, tidaklah tunggal, tetapi ia memiliki sub-sub budaya yang dari aspek historisnya (bisa dikaji) berakar dari era kerajaan Jawa Mataram. Di antara sub-budaya Jawa itu adalah Budaya Pesisiran.
Pada makalah ini, saya ingin menyajikan kebudayaan Jawa Pesisiran dimaksud berdasarkan pada perspektif antropologis, dengan urutan: tipologi masyarakat Jawa (Pesisiran); Kebudayaan Jawa Pesisiran; dan fenomena dinamika kebudayaan Jawa Pesisiran dalam kaitannya dengan era kekinian (Globalisasi).

2. Masyarakat Jawa Pesisiran
Dilihat dari segi lingkungan fisikal di mana masyarakat Jawa tinggal, dapat dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu (a) masyarakat yang tinggal di seputar daerah pegunungan, (b) masyarakat yang tinggal di daerah dataran, dan (c) masyarakat yang tinggal di kawasan pantai . Sedang jika tinjauannya pada segi wilayah kebudayaan (culture area), maka secara historis masyarakat Jawa dapat dibedakan ke dalam tiga tipe (sub) kebudayaan yaitu (a) Negarigung, (b) Mancanegari, dan (c) Pesisiran.

Kategori masyarakat yang berkebudayaan negarigung ialah masyarakat yang enkulturasi dan proses sosialisasinya berada dan tinggal di seputar kota Solo dan Yogyakarta. Mereka disebut tiyang negari (orang negeri). Peradaban yang hidup di daerah negarigung ini merupakan peradaban orang Jawa yang dahulunya berakar dari keraton. Oleh karena bersumber dan berakar dari keraton maka dengan meminjam istilah Robert Redfield , peradabannya masuk pada ketegori peradaban besar (great tradition). Ciri dari peradaban besar ini, di antaranya yang penting ialah mengutamakan kehalusan (baik bahasa maupun kesenian), dan pandangan-pandangan keagamaannya cenderung sinkretik . Dengan menggunakan cara berfikir bipolar maka peradaban yang bersumber dan berakar dari luar keraton, disebut peradaban kecil (little tradition) yaitu tipe peradaban yang dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat Mancanegari dan masyarakat Pesisiran .
Masyarakat Mancanegari (tipe kedua dari wilayah kebudayaan Jawa), memiliki kemiripan-kemiripan dengan masyarakat Negarigung dalam hal pementingan tutur bahasa dan keseniannya, kendatipun kualitasnya tidak sebaik atau sehalus peradaban keraton. Mancanegari ini merupakan suatu sebutan untuk daerah-daerah di luar kota Solo dan Yogyakarta. Masyarakat yang hidup dalam peradaban ini disebut sebagai tiyang pinggiran (orang pinggiran) .
Sedang daerah kebudayaan Pesisiran, adalah suatu daerah atau wilayah kebudayaan yang pendukungnya adalah masyarakat yang proses sosialisasinya berada dan tinggal di sepanjang daerah pantai utara pulau Jawa, yang dikenal dengan tiyang pesisiran .
Dari aspek sosial historisnya, yaitu sejak masa kejayaan Mataram antara tahun 1613 hingga sampai tahun 1709, daerah-daerah pesisiran umumnya juga menjadi daerah kekuasaan kerajaan Mataram. Akan tetapi sejak tahun 1743 dan 1746, daerah-daerah pesisiran itu secara berangsur-angsur diambilalih oleh Kompeni (VOC) . Sebagai daerah kekuasaan Mataram, daerah pesisiran itu dalam proses kesejarahannya dibangun berdasarkan atau dipengaruhi oleh peradaban Mataram, tetapi sejak daerah-daerah Pesisir yang umumnya dipimpin oleh seorang bupati menjadi daerah kekuasaan Kompeni (1746), keterlibatan mereka terhadap raja Mataram dengan semua adat upacaranya, relatif terputus karena konsentrasi dan kewajiban mereka terhadap raja Mataram dialihkan kepada Kompeni. Bersamaan dengan itu, para keluarga dan kerabat-kerabat bupati diakui oleh Kumpeni sebagai kelompok aristokrasi tersendiri. Sebagai kelompok aristokrasi, mereka dengan bebas dan leluasa meniru dan mengembangkan kehidupan istana sesuai dengan keadaan lingkungan masing-masing, dan mempunyai gaya kehidupan yang khas. Kabupaten-kabupaten Pesisir seolah-olah merupakan kerajaan kecil dengan segala adat, lambang dan upacaranya, dan Kompeni tidak mengurusi rumahtangga bupati dan kerabatnya. Corak dari gaya aristokrasi pesisiran bersama dengan pengembangan adat-istiadatnya yang tidak lagi harus disesuaikan dengan peradaban Mataram, semakin memiliki wama Pesisiran setelah kerajaan Mataram mengalami masa keruntuhan, berbarengan dengan lahirnya kerajaan Islam yang berpusat di Demak, (sekitar pertengahan abad 17). Kelahiran dari kerajaan Islam di Jawa pesisiran ini tidak terlepas dari terjadinya penyiaran (Islamisasi) yang intensif oleh para penyiar Islam yang di antaranya berasal dari Gujarat.
Masyarakat pesisir yang tinggal dalam satuan geografis yang berupa dataran pantai, orientasi pekerjaan yang condong kepada kegiatan dagang, petani dan nelayan (nonpegawai pemerintah), serta intensifnya pengajaran Islam yang memberi tekanan pada konsep equalitas, serta relatif jauhnya dengan pusat kerajaan Mataram (waktu itu), memberi pengaruh kepada karakteristik masyarakat pesisir yang relatif berbeda dengan masyarakat Jawa pedalaman (negarigung dan mancanegari), sebagaimana yang akan saya jelaskan pada corak kebudayaan Jawa Pesisiran berikut.

3. Kebudayaan Pesisir
Kebudayaan Pesisir dapat diartikan sebagai sistem-sistem pengetahuan yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang dipunyai dan dijiwai oleh masyarakat pendukungnya. Perangkat model-model pengetahuan tadi, berisi konsep-konsep, teori-teori, dan metode atau teknik . Keseluruhannya itu digunakan secara selektif untuk melangsungkan kehidupan, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan: fisik, sosial, dan integratifnya dalam lapangan: bahasa, agama, seni, ilmu pengetahuan, organisasi sosial (politik), teknologi, dan ekonomi.
Bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi di antara warga masyarakat pesisir, lebih terlihat kasar (dibanding dengan masyarakat Jawa Pedalaman), yaitu dengan penggunaan bahasa Jawa Ngoko/Madya. Mengapa? Karena yang dipentingkan adalah pada substansi/pesan yang ingin disampaikan sehingga terasa spontan dan langsung (straight forward) bukan kepada bagaimana menyampaikan. Hal ini ada kaitannya dengan cara mereka memperlakukan diri dan orang lain secara equal. Equalitas tadi berkorelasi dengan arena kehidupan yang ditekuni yakni pasar (berdagang), dan faham keagamaan yang menekankan pada konsep kesejajaran. Strata sosial dilihat lebih pada alasan keagamaan (taqwa) dan bukan status (sosial) itu sendiri. Dalam pandangan keagamaan (Islam), kehormatan manusia dilihat sama kecuali sisi ketaqwaannya. Konsep taqwa – sebagai ukuran derajat – ditarik ke ranah sosial – menjadi indikasi atas individu-individu yang memiliki ”kedekatan” kepada Tuhannya, sehingga dalam strata sosial masyarakat pesisir – kehormatan lebih diacukan kepada tokoh keagamaan seperti kiai.
Frame berfikir seperti itu, telah mewarnai kehidupan sosial masyarakat pesisir sebagaimana yang ditampakkan dari cara mereka menempatkan organisasi-organisasi sosial keagamaan maupun partai politik yang diikuti. Dengan demikian, agama tidak saja dilihat sebagai kepentingan dan kebutuhan individu tetapi juga sebagai identitas dan pengikatan sosial. Dalam konteks sosial, agama – menjadi sumber inspirasi dan gerakan, yakni gerakan untuk melakukan perlawananan atau keseimbangan terhadap kekuasaan atau kekuatan ideologi sekuler di luarnya. Dalam batas-batas tertentu, kepercayaan atas agama seperti itu, menjadi penguatan dan kekuatan masyarakat pesisir itu sendiri, karena sumber dari apa yang mereka pahami sebagai agama, tidak terbatas: alquran, hadits, dan ribuan kitab-kitab (yang terdifinisi sebagai kitab agama). Sumber referensial keagamaan seperti itu, tersosialisasikan secara rapi dan berkelanjutan sebagaimana yang nampak dan ditampakkan dalam kegiatan yang ada dalam kehidupan pesantren, madrasah diniyah, dan berbagai kegiatan di dalam tempat-tempat ibadah seperti masjid dan musholla. Referensi keagamaan seperti itu juga dijadikan nafas dan landasan dalam satuan-satuan sosial kemasyarakatan, ormas-ormas keagamaan, dan kehidupan di luarnya seperti dalam kesenian.
Kesenian yang ditunjukkan – terutama dalam kantong-kantong (enclave) kaum santri – menggambarkan keterpautan kepada kecenderungan, keislaman sebagaimana yang nampak dalam sastra-sastra pesantren.
Di luar kebudayaan pesisir yang bersumber pada tradisi-tradisi pesantren, juga hidup secara berdampingan yaitu kebudayaan yang bersumber pada ajaran-ajaran kejawen, di mana pendukung sub-budaya ini menamakan diri sebagai kaum nasionalis . Ciri dari pendukung sub-budaya kejawen ini ialah mencintai segala macam kesenian Jawa seperti wayang, tayub, dan semacamnya. Suatu kecenderungan yang amat berbeda dengan budaya pesisir kelompok santri .

4. Kebudayaan Jawa Pesisiran dalam Perubahan
Dewasa ini (era globalisasi), hampir bisa dikatakan bahwa tidak ada lagi masyarakat (Jawa) yang hidup dalam keterasingan (kecuali – mungkin masyarakat Samin dan semacamnya), sehingga corak dari kebudayaan Jawa Pesisiran sendiri, dalam banyak hal – sudah ber-akulturasi dengan berbagai kebudayaan di luarnya.
Terhadap realitas seperti ini, memaksa kita untuk mengatakan bahwa sesungguhnya kebudayaan (termasuk kebudayaan Jawa Pesisiran) – dalam rentang waktu – memiliki tiga sifat pemaknaan, yaitu (1) kebudayaan adalah segala sesuatu yang sudah terbentuk; (2) sedang membentuk, dan (3) dalam proses rancangan ke depan. Yang pertama digambarkan sebagai kebudayaan ”asli” – yang bisa dianalogikan kepada ”kebudayaan nusantara”. Kebudayaan nusantara adalah kebudayaan-kebudayaan yang hidup dan berkembang di berbagai masyarakat Indonesia sebelum bersentuhan secara intensif dengan kebudayaan Barat. Dalam kebudayaan Nusantara ini (kadang-kadang disebut sebagai kebudayaan tradisional) masih terlihat warna-warna lokal secara amat menonjol, sehingga pada masing-masing daerah – dikenal adanya ciri-ciri khasnya. Sementara kebudayaan dalam artian sedang membentuk, justru berada dalam pergolakan untuk mempertahankan, atau memadukan .
Kecenderungan untuk mempertahankan kebudayaan ”asli” lebih didasarkan oleh kecurigaan yang berlebihan terhadap kebudayaan-kebudayaan ”asing”. Kecurigaan itu terutama dikaitkan dengan cara kita menempatkan ”kebudayaan timur” (termasuk kebudayaan Jawa Pesisiran) sebagai kebudayaan yang memiliki ciri-ciri religiusitas (sakral) sementara budaya asing (Barat) sebagai kebudayaan berciri sekuler, dan profan. Budaya timur menekankan pada nilai rohani, sementara budaya asing (barat) bernilai materi, berpaham kapitalisme.
Kecurigaan yang luar biasa seperti itu, menjadikan kita – dalam batas-batas tertentu, tidak bergerak maju (karena disibukkan oleh upaya mempertahankan), sementara pada batas-batas yang lain, kita menyerap produk dari masyarakat berbudaya asing (Barat) termasuk memimpikan menjadi orang-orang yang sukses secara ekonomi sebagaimana masyarakat di negara-negara maju.
Apa yang terjadi kemudian? Adalah kerentaan baik secara sosial ekonomi maupun secara kebudayaan.
Dari kerentaan sosial ekonomi, masyarakat kita (pesisir) hingga dewasa ini – masih banyak yang hidup dalam ekonomi tradisional. Penduduk yang tinggal di desa-desa, bertahan dalam pola pertanian sawah semi tradisional sehingga tingkat keberhasilannya masih banyak bergantung pada derma alam. Sementara itu, minat penduduk Pesisir Jawa terhadap dunia kelautan masih sangat kecil. Dari jumlah yang sangat kecil itu, umumnya masih berada pada nelayan tradisional, sehingga gambaran mengenai kehidupan umumnya nelayan di Jawa ini masih sangat memprihatinkan . Yang terjadi kemudian adalah para nelayan masih tetap terpuruk dalam kemiskinan, dan sebagian dari para petani sawah (apalagi yang buruh tani), mulai banyak yang beralih kepada usaha dagang atau jasa. Sementara bagi para buruh tani berpindah orientasi kerja menjadi buruh lepas, menjadi buruh pabrik, atau migrasi ke kota. Kalau dihitung secara statistik, penduduk usia muda yang meninggalkan desa dan mengadu nasib ke kota-kota besar, jumlahnya sangat besar dan secara hipotesis akan semakin membengkak tajam . Kondisi ini, dalam satu sisi mencemaskan, sebab bisa jadi kalau tidak mendapat perhatian serius, akan melahirkan berbagai dampak, baik yang positif maupun dan terutama yang negatif . Sedang dalam sisi yang lain menjelaskan kepada ”kegagalan” pemerintah sendiri di dalam mengelola pemerintahan yang bisa mensejahterakan rakyatnya sendiri.
Kondisi seperti itu, tidak banyak berbeda dengan masyarakat (penduduk) yang tinggal di berbagai kota-kota pesisir. Orientasi kerja masyarakat pesisir perkotaan yang lebih mengandalkan kepada usaha wiraswasta, dewasa ini mengalami berbagai kelesuan terutama di sektor-sektor ekonomi. Berbagai perusahaan yang ada, yang semula bisa menyerap tenaga kerja usia muda – mulai mengurangi bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Sementara sektor-sektor swasta – dalam berbagai segi – mengalami penurunan produksi dan pendapatan secara berarti.
Kondisi kemiskinan dan ketakberdayaan masyarakat dalam berbagai sisi kehidupan sebagaimana yang kita amati dewasa ini – secara antropologis – perlu dicari tahu – terutama dari nilai-nilai kebudayaan yang menjadi dan dijadikan landasan kehidupan. Artinya, berdialog tentang kebudayaan – tidaklah karena alasan romantik bahwa kebudayaan yang kita miliki adalah kebudayaan adiluhung, karena itu harus dipertahankan dari infiltrasi kebudayaan-kebudayaan luar, melainkan bagaimana merumuskan kembali kebudayaan adiluhung tadi – menjadi kebudayaan pemenang di dalam berkompetisi. Itu yang lebih penting!!!