Selasa, 01 Desember 2009

EKSISTENSI BUDAYA PESISIRAN PADA ERA GLOBALISASI

1. Pendahuluan
Budaya Jawa, tidaklah tunggal, tetapi ia memiliki sub-sub budaya yang dari aspek historisnya (bisa dikaji) berakar dari era kerajaan Jawa Mataram. Di antara sub-budaya Jawa itu adalah Budaya Pesisiran.
Pada makalah ini, saya ingin menyajikan kebudayaan Jawa Pesisiran dimaksud berdasarkan pada perspektif antropologis, dengan urutan: tipologi masyarakat Jawa (Pesisiran); Kebudayaan Jawa Pesisiran; dan fenomena dinamika kebudayaan Jawa Pesisiran dalam kaitannya dengan era kekinian (Globalisasi).

2. Masyarakat Jawa Pesisiran
Dilihat dari segi lingkungan fisikal di mana masyarakat Jawa tinggal, dapat dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu (a) masyarakat yang tinggal di seputar daerah pegunungan, (b) masyarakat yang tinggal di daerah dataran, dan (c) masyarakat yang tinggal di kawasan pantai . Sedang jika tinjauannya pada segi wilayah kebudayaan (culture area), maka secara historis masyarakat Jawa dapat dibedakan ke dalam tiga tipe (sub) kebudayaan yaitu (a) Negarigung, (b) Mancanegari, dan (c) Pesisiran.

Kategori masyarakat yang berkebudayaan negarigung ialah masyarakat yang enkulturasi dan proses sosialisasinya berada dan tinggal di seputar kota Solo dan Yogyakarta. Mereka disebut tiyang negari (orang negeri). Peradaban yang hidup di daerah negarigung ini merupakan peradaban orang Jawa yang dahulunya berakar dari keraton. Oleh karena bersumber dan berakar dari keraton maka dengan meminjam istilah Robert Redfield , peradabannya masuk pada ketegori peradaban besar (great tradition). Ciri dari peradaban besar ini, di antaranya yang penting ialah mengutamakan kehalusan (baik bahasa maupun kesenian), dan pandangan-pandangan keagamaannya cenderung sinkretik . Dengan menggunakan cara berfikir bipolar maka peradaban yang bersumber dan berakar dari luar keraton, disebut peradaban kecil (little tradition) yaitu tipe peradaban yang dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat Mancanegari dan masyarakat Pesisiran .
Masyarakat Mancanegari (tipe kedua dari wilayah kebudayaan Jawa), memiliki kemiripan-kemiripan dengan masyarakat Negarigung dalam hal pementingan tutur bahasa dan keseniannya, kendatipun kualitasnya tidak sebaik atau sehalus peradaban keraton. Mancanegari ini merupakan suatu sebutan untuk daerah-daerah di luar kota Solo dan Yogyakarta. Masyarakat yang hidup dalam peradaban ini disebut sebagai tiyang pinggiran (orang pinggiran) .
Sedang daerah kebudayaan Pesisiran, adalah suatu daerah atau wilayah kebudayaan yang pendukungnya adalah masyarakat yang proses sosialisasinya berada dan tinggal di sepanjang daerah pantai utara pulau Jawa, yang dikenal dengan tiyang pesisiran .
Dari aspek sosial historisnya, yaitu sejak masa kejayaan Mataram antara tahun 1613 hingga sampai tahun 1709, daerah-daerah pesisiran umumnya juga menjadi daerah kekuasaan kerajaan Mataram. Akan tetapi sejak tahun 1743 dan 1746, daerah-daerah pesisiran itu secara berangsur-angsur diambilalih oleh Kompeni (VOC) . Sebagai daerah kekuasaan Mataram, daerah pesisiran itu dalam proses kesejarahannya dibangun berdasarkan atau dipengaruhi oleh peradaban Mataram, tetapi sejak daerah-daerah Pesisir yang umumnya dipimpin oleh seorang bupati menjadi daerah kekuasaan Kompeni (1746), keterlibatan mereka terhadap raja Mataram dengan semua adat upacaranya, relatif terputus karena konsentrasi dan kewajiban mereka terhadap raja Mataram dialihkan kepada Kompeni. Bersamaan dengan itu, para keluarga dan kerabat-kerabat bupati diakui oleh Kumpeni sebagai kelompok aristokrasi tersendiri. Sebagai kelompok aristokrasi, mereka dengan bebas dan leluasa meniru dan mengembangkan kehidupan istana sesuai dengan keadaan lingkungan masing-masing, dan mempunyai gaya kehidupan yang khas. Kabupaten-kabupaten Pesisir seolah-olah merupakan kerajaan kecil dengan segala adat, lambang dan upacaranya, dan Kompeni tidak mengurusi rumahtangga bupati dan kerabatnya. Corak dari gaya aristokrasi pesisiran bersama dengan pengembangan adat-istiadatnya yang tidak lagi harus disesuaikan dengan peradaban Mataram, semakin memiliki wama Pesisiran setelah kerajaan Mataram mengalami masa keruntuhan, berbarengan dengan lahirnya kerajaan Islam yang berpusat di Demak, (sekitar pertengahan abad 17). Kelahiran dari kerajaan Islam di Jawa pesisiran ini tidak terlepas dari terjadinya penyiaran (Islamisasi) yang intensif oleh para penyiar Islam yang di antaranya berasal dari Gujarat.
Masyarakat pesisir yang tinggal dalam satuan geografis yang berupa dataran pantai, orientasi pekerjaan yang condong kepada kegiatan dagang, petani dan nelayan (nonpegawai pemerintah), serta intensifnya pengajaran Islam yang memberi tekanan pada konsep equalitas, serta relatif jauhnya dengan pusat kerajaan Mataram (waktu itu), memberi pengaruh kepada karakteristik masyarakat pesisir yang relatif berbeda dengan masyarakat Jawa pedalaman (negarigung dan mancanegari), sebagaimana yang akan saya jelaskan pada corak kebudayaan Jawa Pesisiran berikut.

3. Kebudayaan Pesisir
Kebudayaan Pesisir dapat diartikan sebagai sistem-sistem pengetahuan yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang dipunyai dan dijiwai oleh masyarakat pendukungnya. Perangkat model-model pengetahuan tadi, berisi konsep-konsep, teori-teori, dan metode atau teknik . Keseluruhannya itu digunakan secara selektif untuk melangsungkan kehidupan, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan: fisik, sosial, dan integratifnya dalam lapangan: bahasa, agama, seni, ilmu pengetahuan, organisasi sosial (politik), teknologi, dan ekonomi.
Bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi di antara warga masyarakat pesisir, lebih terlihat kasar (dibanding dengan masyarakat Jawa Pedalaman), yaitu dengan penggunaan bahasa Jawa Ngoko/Madya. Mengapa? Karena yang dipentingkan adalah pada substansi/pesan yang ingin disampaikan sehingga terasa spontan dan langsung (straight forward) bukan kepada bagaimana menyampaikan. Hal ini ada kaitannya dengan cara mereka memperlakukan diri dan orang lain secara equal. Equalitas tadi berkorelasi dengan arena kehidupan yang ditekuni yakni pasar (berdagang), dan faham keagamaan yang menekankan pada konsep kesejajaran. Strata sosial dilihat lebih pada alasan keagamaan (taqwa) dan bukan status (sosial) itu sendiri. Dalam pandangan keagamaan (Islam), kehormatan manusia dilihat sama kecuali sisi ketaqwaannya. Konsep taqwa – sebagai ukuran derajat – ditarik ke ranah sosial – menjadi indikasi atas individu-individu yang memiliki ”kedekatan” kepada Tuhannya, sehingga dalam strata sosial masyarakat pesisir – kehormatan lebih diacukan kepada tokoh keagamaan seperti kiai.
Frame berfikir seperti itu, telah mewarnai kehidupan sosial masyarakat pesisir sebagaimana yang ditampakkan dari cara mereka menempatkan organisasi-organisasi sosial keagamaan maupun partai politik yang diikuti. Dengan demikian, agama tidak saja dilihat sebagai kepentingan dan kebutuhan individu tetapi juga sebagai identitas dan pengikatan sosial. Dalam konteks sosial, agama – menjadi sumber inspirasi dan gerakan, yakni gerakan untuk melakukan perlawananan atau keseimbangan terhadap kekuasaan atau kekuatan ideologi sekuler di luarnya. Dalam batas-batas tertentu, kepercayaan atas agama seperti itu, menjadi penguatan dan kekuatan masyarakat pesisir itu sendiri, karena sumber dari apa yang mereka pahami sebagai agama, tidak terbatas: alquran, hadits, dan ribuan kitab-kitab (yang terdifinisi sebagai kitab agama). Sumber referensial keagamaan seperti itu, tersosialisasikan secara rapi dan berkelanjutan sebagaimana yang nampak dan ditampakkan dalam kegiatan yang ada dalam kehidupan pesantren, madrasah diniyah, dan berbagai kegiatan di dalam tempat-tempat ibadah seperti masjid dan musholla. Referensi keagamaan seperti itu juga dijadikan nafas dan landasan dalam satuan-satuan sosial kemasyarakatan, ormas-ormas keagamaan, dan kehidupan di luarnya seperti dalam kesenian.
Kesenian yang ditunjukkan – terutama dalam kantong-kantong (enclave) kaum santri – menggambarkan keterpautan kepada kecenderungan, keislaman sebagaimana yang nampak dalam sastra-sastra pesantren.
Di luar kebudayaan pesisir yang bersumber pada tradisi-tradisi pesantren, juga hidup secara berdampingan yaitu kebudayaan yang bersumber pada ajaran-ajaran kejawen, di mana pendukung sub-budaya ini menamakan diri sebagai kaum nasionalis . Ciri dari pendukung sub-budaya kejawen ini ialah mencintai segala macam kesenian Jawa seperti wayang, tayub, dan semacamnya. Suatu kecenderungan yang amat berbeda dengan budaya pesisir kelompok santri .

4. Kebudayaan Jawa Pesisiran dalam Perubahan
Dewasa ini (era globalisasi), hampir bisa dikatakan bahwa tidak ada lagi masyarakat (Jawa) yang hidup dalam keterasingan (kecuali – mungkin masyarakat Samin dan semacamnya), sehingga corak dari kebudayaan Jawa Pesisiran sendiri, dalam banyak hal – sudah ber-akulturasi dengan berbagai kebudayaan di luarnya.
Terhadap realitas seperti ini, memaksa kita untuk mengatakan bahwa sesungguhnya kebudayaan (termasuk kebudayaan Jawa Pesisiran) – dalam rentang waktu – memiliki tiga sifat pemaknaan, yaitu (1) kebudayaan adalah segala sesuatu yang sudah terbentuk; (2) sedang membentuk, dan (3) dalam proses rancangan ke depan. Yang pertama digambarkan sebagai kebudayaan ”asli” – yang bisa dianalogikan kepada ”kebudayaan nusantara”. Kebudayaan nusantara adalah kebudayaan-kebudayaan yang hidup dan berkembang di berbagai masyarakat Indonesia sebelum bersentuhan secara intensif dengan kebudayaan Barat. Dalam kebudayaan Nusantara ini (kadang-kadang disebut sebagai kebudayaan tradisional) masih terlihat warna-warna lokal secara amat menonjol, sehingga pada masing-masing daerah – dikenal adanya ciri-ciri khasnya. Sementara kebudayaan dalam artian sedang membentuk, justru berada dalam pergolakan untuk mempertahankan, atau memadukan .
Kecenderungan untuk mempertahankan kebudayaan ”asli” lebih didasarkan oleh kecurigaan yang berlebihan terhadap kebudayaan-kebudayaan ”asing”. Kecurigaan itu terutama dikaitkan dengan cara kita menempatkan ”kebudayaan timur” (termasuk kebudayaan Jawa Pesisiran) sebagai kebudayaan yang memiliki ciri-ciri religiusitas (sakral) sementara budaya asing (Barat) sebagai kebudayaan berciri sekuler, dan profan. Budaya timur menekankan pada nilai rohani, sementara budaya asing (barat) bernilai materi, berpaham kapitalisme.
Kecurigaan yang luar biasa seperti itu, menjadikan kita – dalam batas-batas tertentu, tidak bergerak maju (karena disibukkan oleh upaya mempertahankan), sementara pada batas-batas yang lain, kita menyerap produk dari masyarakat berbudaya asing (Barat) termasuk memimpikan menjadi orang-orang yang sukses secara ekonomi sebagaimana masyarakat di negara-negara maju.
Apa yang terjadi kemudian? Adalah kerentaan baik secara sosial ekonomi maupun secara kebudayaan.
Dari kerentaan sosial ekonomi, masyarakat kita (pesisir) hingga dewasa ini – masih banyak yang hidup dalam ekonomi tradisional. Penduduk yang tinggal di desa-desa, bertahan dalam pola pertanian sawah semi tradisional sehingga tingkat keberhasilannya masih banyak bergantung pada derma alam. Sementara itu, minat penduduk Pesisir Jawa terhadap dunia kelautan masih sangat kecil. Dari jumlah yang sangat kecil itu, umumnya masih berada pada nelayan tradisional, sehingga gambaran mengenai kehidupan umumnya nelayan di Jawa ini masih sangat memprihatinkan . Yang terjadi kemudian adalah para nelayan masih tetap terpuruk dalam kemiskinan, dan sebagian dari para petani sawah (apalagi yang buruh tani), mulai banyak yang beralih kepada usaha dagang atau jasa. Sementara bagi para buruh tani berpindah orientasi kerja menjadi buruh lepas, menjadi buruh pabrik, atau migrasi ke kota. Kalau dihitung secara statistik, penduduk usia muda yang meninggalkan desa dan mengadu nasib ke kota-kota besar, jumlahnya sangat besar dan secara hipotesis akan semakin membengkak tajam . Kondisi ini, dalam satu sisi mencemaskan, sebab bisa jadi kalau tidak mendapat perhatian serius, akan melahirkan berbagai dampak, baik yang positif maupun dan terutama yang negatif . Sedang dalam sisi yang lain menjelaskan kepada ”kegagalan” pemerintah sendiri di dalam mengelola pemerintahan yang bisa mensejahterakan rakyatnya sendiri.
Kondisi seperti itu, tidak banyak berbeda dengan masyarakat (penduduk) yang tinggal di berbagai kota-kota pesisir. Orientasi kerja masyarakat pesisir perkotaan yang lebih mengandalkan kepada usaha wiraswasta, dewasa ini mengalami berbagai kelesuan terutama di sektor-sektor ekonomi. Berbagai perusahaan yang ada, yang semula bisa menyerap tenaga kerja usia muda – mulai mengurangi bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Sementara sektor-sektor swasta – dalam berbagai segi – mengalami penurunan produksi dan pendapatan secara berarti.
Kondisi kemiskinan dan ketakberdayaan masyarakat dalam berbagai sisi kehidupan sebagaimana yang kita amati dewasa ini – secara antropologis – perlu dicari tahu – terutama dari nilai-nilai kebudayaan yang menjadi dan dijadikan landasan kehidupan. Artinya, berdialog tentang kebudayaan – tidaklah karena alasan romantik bahwa kebudayaan yang kita miliki adalah kebudayaan adiluhung, karena itu harus dipertahankan dari infiltrasi kebudayaan-kebudayaan luar, melainkan bagaimana merumuskan kembali kebudayaan adiluhung tadi – menjadi kebudayaan pemenang di dalam berkompetisi. Itu yang lebih penting!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar